Pembunuhan Karakter Melalui Jejaring Sosial Media
Era
keterbukaan informasi merupakan berkah yang luar biasa bagi masyarakat
luas untuk mendapatkan informasi yang cepat, mudah dan tak terbatas. Memperoleh
informasi hakikatnya adalah hak dasar warga Negara. Hak yang mutlak
tanpa dibatasi oleh berbagai macam intimidasi maupun konspirasi.
Namun
pemenuhan hak memperoleh informasi akan terhambat, karena adanya
benturan kepentingan terhadap pihak-pihak yang menguasai informasi. Hal
ini bisa diartikan bahwa kelompok kelompok tertentu yang memiliki
ataupun menguasai akses pada media dapat dengan mudah merebut opini
publik sesuai dengan konteks yang mereka inginkan.
Meskipun
media telah memberikan peran bagi keterbukaan informasi, harus diakui
media juga memberikan ekses baik berupa ketegangan maupun disharmoni.
Ekses media yang mungkin negatif, biasanya bersifat sementara, sebagai
akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap fungsi media itu
sendiri.
Pada
masa Orde Baru, mengkritik pimpinan negara, membutuhkan keberanian yang
luar biasa. Bahkan, mengkritik kebijakan pemerintah, adalah “kemewahan”
yang harus dibayar mahal.
Seorang
tokoh politik yang mengkritisi kebijakan pemerintah bisa dipastikan
menjadi pesakitan di hotel prodeo. Penguasa bisa mengerahkan massa ke
kantor media untuk menekan dan banyak modus lain dari reaksi
ketidaksenangan suatu kelompok terhadap peran media, seperti memboikot,
mengancam personil media, maupun membuat media sendiri.
Saat ini peran media memiliki alternatif baru dan murah, yaitu dengan peran Sosial Media
yang secara aktif mewujudkan keterbukaan informasi publik. Keterbukaan
informasi yang memungkinkan orang memperoleh informasi yang berguna bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara mudah, murah, gamblang bahkan cendrung kebablasan.
Sosial Media bisa digunakan untuk menyampaikan sebuah berita tanpa mempertimbangkan konsep cover both side maupun kritik yang dilayangkan melalui Sosial Media cendrung mengarah pada pembunuhan karakter (character assassination) sering terjadi dan melenggang bebas tanpa perlu menyampilkan identitas si-empu berita.
Hal tersebut terjadi karena pada Sosial Media tidak memiliki mekanisme sistem ataupun
control yang berlaku seperti pada media independen. Tidak adanya editor
dalam menyampaikan berita maupun wadah organisasi yang seringkali
bersifat birokratis dan hirarkis, membuat Sosial Media menjadi “pasar bebas” dalam menyampaikan berita.
Maka tidak mengherankan jika Sosial Media menjadi ajang ber-jibaku
bagi sebagian masyarakat dalam membuat opini publik yang kadangkala
menyesatkan dan digunakan sebagai pencitraan tokoh tertentu.
Menariknya
lagi, banyak tokoh yang membaca peluang ini bahkan berani membayar
sejumlah rupiah kepada pengelola/admin yang memiliki pengikut (follower)
terbanyak pada jejaring Sosial Media
demi memuluskan pencitraan dirinya. Sehingga peluang ini dimanfaatkan
oleh sebagian orang untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah dan prinsip
pasar bebas berlaku disini.
Wajar saja jika akhir-akhir ini kita sering mendengar ataupun membaca berita melalui Sosial Media mengenai kinerja buruk seseorang yang selalu digadang-gadangkan tanpa harus melakukan cover both side sebagai konsep objektivitas.
McQuails dalam Mass Communication Theory memaparkan untuk
melihat penampilan suatu media adalah objektivitas (McQuails, 2010 :
200). Maknanya bahwa isi media harapannya mempunyai kualitas kebenaran,
keaslian, kedalaman, tidak berupaya untuk melakukan manipulasi dan
mengarahkan pada sikap kritis. Hal ini seharusnya berlaku juga didalam Sosial Media, dimana informasi yang disampaikan harus disertakan dengan objektifitas content berita dan bisa dipertanggung jawabkan.
Kebebasan adalah hak setiap individu akan dibatasi oleh kebebasan dan hak individu lainnya. Sosial Media harus mendorong terpenuhinya hak publik dengan tetap menjaga kebenaran di atas kebebasan.
Entah disadari atau tidak masyarakat sebagai pemilik public sphere justru menikmati euphoria Sosial Media dan terjebak di dalamnya. Masyarakat dicekoki berita secara brutal demi kepentingan golongan tertentu.
Dalam hal ini masyarakat harus menempatkan dirinya sebagai pihak yang mem-filter
berita. Masyarakat dapat menentukan sendiri mana berita yang layak
dikonsumsi maupun yang dianggap “sampah”. Masyarakat berhak mendapatkan
informasi yang bernas bukan sekadar dijejali konten berita tanpa bisa
berbuat apa-apa. Sehingga prinsip objektifitas, konsep cover both side menjadi penyaring dan masyarakat dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi sebuah berita yang disampaikan melalui Social Media.
sumber : http://politik.kompasiana.com/2012/11/11/pembunuhan-karakter-melalui-jejaring-sosial-media-502417.html
0 Response to "Pembunuhan Karakter Melalui Jejaring Sosial Media"
Posting Komentar